Ilustrasi pengambilan dasar hukum Islam diambil dari inspiring.id |
Akan tetapi, kesempatan ini, kita akan membahas tentang aturan-aturan itu.
Sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam bersal dari Al-Quran dan Hadits, akan tetapi dalam perkara tentetu yang tidak disebutkan secara jelas dalam Al-Quran dan Hadits diputuskan bedasar Ijtihad.
Dasar dalam melakukan Ijtihad berasal dari Hadits yang menceritakan pengutusan Muadz bin Jabal. Ketika itu pula Rasulullah memberikan Feed and Proper test.
“Wahai Muadz! Dengan apa kamu menetukan hukum? Muadz menjawab: dengan Al-Quran. Rasulullah bertanya: Kalau kamu tidak menemukannya? Jawabnya: Maka dengan Sunnah Rasullulah. Rasulullah bertanya kembali: Kalau kamu tidak menemukannya? Jawabnya: Aku berijtihad dengan pikiran. Rasulullah bersabda: Alhamdulillah uyang telah menyamakan utusannya dengan Rasulnya-Nya terhadap apa yang diridhainya”Prinsip-Prinsip Bersyariat
Syariat merupakan sesuatu yang umum, dan berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Sedangkan, Fikih merupakan perincian dari syariat tersebut. Seperti disebutkan diatas, untuk memberikan kepastian hukum, Islam mengajarkan untuk merujuk pada Al-Qur'an dan As-sunah. Akan tetapi bila tidak ditemukan, maka dapat digunakan melalui ijtihad.
Hukum Ijtihad
Ijtihat merupakan fardhu kifayah (kewajiban kolektif), artinya apabila ijtihad sudah dilaksanakan oleh satu orang maka yang lainnya terlepas dari tuntutan kewajiban tersebut. Apabila tidak ada yang melakukan maka berdosa karena meninggalkan hal yang penting dalam agama.
Kalau seorang mujtahid dan hasil ijtihadnya berdeda dengan mujtahid lain maka tidak boleh mertalid dengan mujtahid lain. Apabila mujtahid menemukan hasil ijtihad bau yang berbeda dengan hasl ijtihad ama maka tidak boleh mengambil hasil ijtihad pertama. Karena mungkin ditemui faktor yang belum ditemui pada ijtihad pertama.
Syarat mujtahid ada 5, diantaranya adalah
#1. Orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup dalam bidang bahasa Arab, yang memungkinkan dapat memahami nash secara baik. Mujtahid harus dapat mebedakan mana yang kinayah dan hakiki. Dapat mengetahui nash, dzahir, am, khas, mutlaq, muqayyad, mujmal, mufashhal
#2. Berpengetahuan tentang tafsir. Tahu asbabun Nuzul Quran, penjelasan ayat dalam hadits, penjelasan para sahabat dan lain sebagainya.
#3. Berpengetahuan tentang sunnah. Mengerti perawi hadits, tahu perawi-perawi yang diragukan, paham mustholah hadits dan lain sebagainya.
#4. Berpengetahuan tentang Ijma’ sahabat. Dengan demikian tidak menyalahi pendapat para sahabat yang telah disepakati.
#5. Berpengetahuan tentang kiyas dan metode penarikan kebenaran melalui qiyas., Illat kiyas, dan hukum yang diperoleh dari kiyas.
Hasil dari ijtihad ini diperoleh secara gradual Mana yang qoth'i dan mana dzanni.
Baca pula Gradasi Kebenaran Hasil Ijtihad
Hukum taqlid
Orang awam wajib mengikuti (taqlid) kepada sang mujtahid. Orang awam tidak memiliki madzhab, madzhab orang awam adalah madzhab orang yang dimintai jawaban.
Apabila ada dua orang mujtahid pada suatu daerah, orang di daerah itu boleh meminta pendapat salah satu yang dianggap lebih wara dan afdhal. Seorang mufti hanya mengeluarkan fatwa berdsar madzhabnya.
Ada pula istilah taqlid buta, taqlid buta sering dinisbatkan kepada orang yang ikut-ikutan tanpa memahami apa yang diikuti. Untuk itu, bagi PMII setidaknya naik level untuk "ittiba'", yakni mengikuti Mujtahid, tetapi juga mengetahui dan paham alasan terhadap dalil argumentasi yang digunakan.
Macam mujtahid
Mujtahid terdiri dari dua macam: Ashabul Hadits dan Ashabur Ra’yi. Ashabul hadits terdiri dari penduduk Hijaz yang kebanyakan terdiri dari murid Malik Bin Awas, Muhammad bin Indris (Imam Syafi’i), Syafwan Ats-Tsauri, Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali) dan Daun bin Ali bin Muhammad Al-Isfani. Mereka disebut ashabul hadits karena perhatiannya dicurahkan untuk mencari hadits-hadits, mengeluarkan hukum dari nash dan tidak menggunakan kiyas.
Bahkan imam Syafii pernah berkata, “sekiranya kalian menemukan pendapatku dan kalian bertemu hadits shohih yang bertentangan dengan pendapatku, maka ketahuilah bahwa madzhabku ada hadits iku”Sedangkan Ashabul Ra’yi adalah penduduk Irak, mereka terdiri dari murid-murid Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit (Imam Hanafi). Diantaranya muridnya Muhammada bin Hasan, Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim bin Muhammad Al-Qodhoi, Zamrun bin Uzail. Mereka disebut Ashabur Ra’yi karena sebagian besar perhatian mereka mengumpulkan hukum melalui qiyas, yakni pengambilan hukum distandertkan kasus hukumnya dan kadang mendahulukan qiyas jali dari hadits Ahad.
Imam Hanafi pernah berkata, “Ketahuilah inilah pendapat yang pernah kami temui yang terbaik, barangsiapa yang menemui lain dari ini, maka pendapat itu baginya dan pendapat ini bagi kami”
Beraswaja di era kontemporer
Membumikan Aswaja di era kontemporer memang menyusahkan. Ketembukaan informasi yang begitu luasnya tak jarang membuat kita bingung yang mana harus diikuti. Menjadi orang awam di era ini sangat sulit, apabali dengan mudahnya informasi tersebar dari jari ke jari.
Baca pula Strategi Penyebaran Aswaja di Kampus UmumBelum lagi perhelatan politik praktis yang seringkali mengaburkan ilmu pengetahuan. Klaim sana sini terjadi, framing sana sini membuat kabur dari madzhabnya. maka bagi penulis, hanya ada dua cara untuk menangani: 1) menjadi dan berusaha menggali ilmu, 2) menjadi orang awam. Tapi, karena keterbatasan kita. Mau tidak mau kita akan memilih dan menjadi bagian yang kedua.
Jangan dikira menjadi orang awam itu mudah. Kita juga harus belajar menjadi orang awam, caranya bagaimana? Berikut menurut Imam Ghozali
#1. Taqdis (menyucikan diri). Maksudnya, kita sebaiknya mensucikan diri dari perbuatan atau bahkan lintasan buruk kita.
#2 Al-Iman wa Tashdiq (beriman dan percaya). Kalau kita tidak paham yang ngikut saja lah.
#3. Al-I’tirof anil Ajzi (mengakui kelemahan). Jangan berlaga sok bisa.
#4. As-sukut anis sual (tidak mempertanyakan). Diam itu kadang lebih baik daripada memperkeruh suasana.
#5. Al-imsak anil tasharruf fil alfadz (menahan diri untuk menggarap nash/l lafadz/ pernyataan yang tidak dipahami.
Dalam mencari tahu ustadz mana yang bisa dijadikan referensi di era digital ini salah satunya dengan mencari tahu latar belakang/ biografi masing-masing. Apabila telah didapat, dan yakin dia leih afdhal dan wara’. Silahkan diikuti.
Referensi
- As-Syahrastani. Al-Milal Wan Nihal