Pada hari Jumat tanggal 30 Maret 2018 kemarin, untuk pertama kalinya saya mengisi Pelatihan Kader Dasar (PKD) di PMII Sunan Kalijaga Malang. Pertama kali pula mengisi materi yang bagi saya sangat berat, Islam dan Teologi Pembebasan. Salah satu materi PKD untuk membangkitkan nalar kritis kader dalam menyikapi berbagai hal agar meninggalkan segala bentuk penjajahan, penindasan, dan status quo yang merugikan masyarakat.
Materi Islam dan Teologi Pembebasan sangat sulit diterima peserta. Pasalnya, bahan untuk membangun pemahaman ini saya rasa masih kurang. Ditambah lagi, saya selaku fasilitator kekurangan cara, dan metode yang pas untuk memberikan pemahaman yang sistematis.
Kesulitan memahami materi ini tentu saja tidak hanya dialami peserta. Saya pun juga pernah mengalami, dikala dulu PKD hingga H-1 saya menyampaikan materi. Penyebab utama kesulitan memahami adalah kurangnya referensi. Awalnya, saya juga tidak paham, dan tidak mampu menghafal konsep yang disajikan oleh tulisan dari Mas Nur Sayyid Santoso Kristeva tersebut. Setelah mencari lebih dari satu sumber dari jurnal-jurnal ilmiah. Pemahaman saya lebih luas dan mampu memberikan interkoneksi terhadap konsep-konsep materi ini.
Islam dan Teologi Pembebasan awalnya bukan konsep yang integral. Islam adalah agama yang diturunkan ke jarizah Arab, dengan konsep rukun Islam, rukun iman, dan akhlak yang menjadi pondasi keagamaannya. Sedangkan Teologi Pembebasan secara historis adalah konsep yang diinisiasi oleh Pendeta, Romo, Uskup dari gereja Katolik di Amerika Latin untuk menentang segala bentuk penjajahan yang mendominasi negaranya.
Membahas Teologi (Konvensional) dahulu sebelum membahas Teologi Pembebasan
Teologi merupakan hal yang paling mendasar dalam Agama. Teologi berasal dari kata Theos yang berarti Tuhan dan Logos yang berarti ilmu, wacana, dan pemikiran. Teologi umumnya pandangan dari hasil proses memahami teks keagamaan tentang Tuhannya. Tentu kalau agama Katolik dari Injil, sedangkan Agama Islam berasal dari Al-Qur'an.
Teologi dalam agama Islam sering disebut Ilmu Kalam, yakni ilmu yang membahas tentang zat, sifat dan wujud Tuhan. Masing-masing madzhab memiliki pandangan tersendiri dalam teologinya. Teologi ini lah yang dalam kajian "Teologi Pembebasan" disebut sebagai teologi konvensional, yakni teologi yang kajiannya berpusat kepada Tuhan (Teosentris). Sedangkan Teologi Pembebasan merupakan teologi yang bersifat antroposentris, berpusat kepada manusia. Itu artinya teologi pembebasan tidak lagi membahas tuhan sebagai objek kajiannya, akan tetapi membahas bagaimana konsep Tuhan itu bermakna bagi manusia.
Teologi (konvensional) bersifat teosentris, sedangkan Teologi Pembebasan bersifat antroposentrisTeologi Pembebasan tidak lagi membahas bahwa Tuhan itu wujud, qidam, baqo' seperti yang diajarkan dalam kitab Aqidatul Awam. Tidak pula membahas apakah tuhan memiliki tangan, telinga, anggota tubuhnya atau bahkan tempat bersemayamnya. Teologi Pembebasan mengajak manusia sadar atas kemerdekaan individu dan sosial. Mengajak untuk tidak pasrah terhadap takdir yang menimpa dan menjadi batu loncatan untuk berubah ke arah yang yang lebih baik.
Islam dan Teologi Pembebasan, Konsep dari Asghar Ali Engineer.
Terminologi ini memang yang mengusulkan adalah Asghar Ali Engineer, Ulama Syiah yang berasal dari India. Beliau terinspirasi dari Teologi Pembebasan yang dibawa oleh pendeta-pendeta Katolik di Amerika Latin. Selain itu, melihat heroisme Revolusi Islam di Iran yang menghantarkan Republik Iran menjadi Republik Islam Iran.
Asghar Ali Engineer miris terhadap negaranya yang mempunyai konflik agama yang tidak kunjung selesai. Asghar Ali Engineer juga seringkali melirik Indonesia sebagai negara yang mayoritas umat Islam akan tetapi mau dengan lapang dada tidak menggunakan "Islam" sebagai dasar negara. Maka dari itu, beliau adalah salah satu tokoh cendikiawan muslim yang setuju diterapkannya sekulerisme dalam bernegara. Menurutnya negara sebagai entitas pengatur kehidupan bernegara bisa melepaskan masyarakat untuk bebas berkeyakinan.
Menurut Asghar Ali Engineer pula, Islam pasa dasarnya memiliki semangat pembebasan. Hal ini dapat dilihat kepada kepribadian Nabi Muhammad secara historis, maupun sari dari ajaran IslamNabi Muhammad sebagai sang pembebas tahu cara untuk membebaskan umat dari sistem perdagangan yang riba, perbudakan yang merajalela, perpecahan antar kabilah dan patriarki yang mengerikan. Nabi Muhammad mampu membentuk sistem pasar yang adil, menjunjung tinggi humanisme melalui penghapusan perbudakan, menyatukan bangsa serta menaikkan derajat perempuan.
Dari segi dalil yang paling sederhana mari kita lihat surat Al-Maun yang menjelaskan muslim yang mendustakan agama. "Tidak lah kamu melihat orang yang mendustakan agama, yaitu orang-orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang-orang yang sholat, yakni orang-orang lalai dalam sholatnya. Yakni orang-orang yang menunjukkan (riya'), dan enggan (menolong) dengan barang-barang yang berguna"
Semangat memperdulikan orang-orang tidak berdaya dalam surat tersebut merupakan manifestasi keimanannya yang tidak hanya diyakini dan diucapkan, namun harus dibuktikan secara konkret.
Humanisme Islam, Konsep Ali Syariati
Ali Syariati merupakan ideolog dari Revolusi Islam di Iran dalam proses menghantarkan terbentuknya Revolusi Islam Iran.
Ali Syariati merupakan tokoh yang memiliki ide humanisme Islam meski tidak sampai diterbitkan dalam bentuk buku. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa konsep yang diusung Ali Syariati mirip dengan Antonio Gramsci yang membagi intelektual menjadi dua: intelektual tradisional dan Intelektual Organik. Intelektual tradisional adalah intelektual yang berada dalam satus qou tidak memberikan perubahan kecuali kekayaan otaknya secara pribadi. Sedangkan intelektual organik ialah Intelektual yang tidak hanya menginventarisasi pengetahuan, akan tetapi melakukan penemuan yang praksis dan dapat digunakan dalam kehidupan manusia.
Konsep intelektual organik disebut sebagai Raushan Fikr (pikiran yang tercerahkan) menurut Ali Syariati. Raushan Fikr adalah intektual yang mampu mencuptakan pergerakan.
Kiri Islam ala Hasan Hanafi.
Hasan Hanafi adalah cendikiawan yang berasal dari Mesir. Pergolakan politik di Iran juga turut menjadi perhatiannya kala itu. Hasan Hanafi adalah tokoh sekaligus ideolog yang tidak mengalami nasib setragis Ali Syariati. Kehidupannya menjadi profesor di Universitas Cairo.
Kajian Hasan Hanafi sering berkaitan dengan Timur vs Barat. Menurutnya, peradaban barat kini menghegemoni dan melewati batas-batas wilayahnya. Superioritas barat sudah saatnya diletakkan kembali kepada posisi semula.
Hasan Hanafi terkenal dengan jurnalnya "Yasar Al-Islami", yang bermakna Kiri Islam. Jurnal ini disebut pula eksponen dari Urwatul wutsqa milik Jamaluddin Al-Afghani. Mirip dengan Al-Afghani, beliau mengajak untuk memikirkan kembali keilmuan yang sudah mandek dan mengembangkan kembali ilmu-ilmu itu.
Hasan Hanafi membagi keilmuan Islam mendadi 3 yakni: pertama, ilmu normatif rasional seperti ushuluddin, ushul fikih, tasawuf dan hikmah, kediua yaitu ilmu rasional seperti fisika biologi, astronomi, ketiga yakni ilmu normatif tradisional seperti Al-Quran, Hadits, tafsir, fikih dsb.
Beliau juga mengajak kita untuk melakukan rekonstruksi terhadap turats di lingkungan Islam. Jargon Turats wa Tajdid menjadi hal yang fenomenal dalam mengawal keilmuan Islam.
Turats wa Tajdid ini dalam khazanah Usul fikih selaras dengan "Al-muhafadhoh ala qodimis Sholih wal akhdu bisa jadidil ashlah". Bukan sekedar akhdu (mengambil), tapi ijad (membuat/ memperbarui).
Dengan melakukan rekontruksi terhadap bangunan pengetahuan Islam, sangat mungkin Islam akan menemukan kejayaan peradaban Islam.
Konklusi
Teologi pembebasan Islam mengajak kita untuk tidak lagi berfikir secara tradisional, namun harus mampu kritis terhadap fenomena-fenomena sosial, terlebih sosial keagamaan.
Agama dapat menjadi sisi pembebasan, tapi di sisi lain menjadi tembok mempertahankan status quoIslam adalah salah satu agama dengan spirit pembebasan. Tanpa disebut Teologi Pembebasan Islam pun nilai-nilai Islam sudah memiliki semangat pembebasan. Namun, perlu kiranya wacana Teologi Pembebasan Islam diartikulasikan untuk membangkitkan kesadaran kolektif atas ketidakadilan, penjajahan, dan kesewenang-wenangan.
Demikian coretan ini, semoga mampu menjadi pelengkap terhadap pemahaman materi kemaren yang dibahas dalam PKD. Jika ingin mendalam memahami, sebaiknya memcari referensi yang lain kemudian mendiskusikannya dalam nuansa formal maupun tidak formal.