Sumber gambar Pilihbuku.com |
Pasca reformasi ini, tak jarang antar organisasi ini terjadi gesekan. Hal ini disebabkan kompetisi pada tataran basis dari perekrutan, hingga perebutan posisi strategis jajaran organisasi kampus. Meskipun, basis lupa bahwa senior-senior mereka yang ada di pengurus pusat asyik ngopi dan bercanda.
Baca pula PMII lagi-lagi bertengger di BEM UM 2018
Sebagai anggota PMII, kita pasti memiliki asumsi-asumsi dan pandangan terhadap OKP (terutama mahasiswa) yang lain. Asumsi itu diperoleh dari opini yang sengaja ataupun yg tidak sengaja dikonstruksi oleh senior internal. Sehingga sulit untuk pemahaman yang kurang pas terhadap organisasi lain.
Yang dibahas disini adalah KAMMI.
Image yang terbentuk pada benak saya adalah Wahhabi, literal, cingkrang, dan eksklusif. Stereotip ini terbentuk dari cara (kebanyakan) mereka dalam berfikih (dalam pandangan saya), kajian FSLDK, dan cara berinteraksi. Pun, ternyata mereka juga bisa tampil cerdik terutama saat pemilu raya kampus.
Cara epik dalam bertindak mereka yang khas, membuat mereka mudah dikenali.
Selama menjadi mahasiswa, satu-satunya silaturahim saya dengan KAMMI datang dalam pelantikan pengurus daerah malang. Pun sebenarnya, silaturrahim saya secara personal kader KAMMI telah terjalin secara personal dan kajian di FSLDK. Pernah juga silaturrahim dalam konsolidasi pemilu kampus.
Pernah suatu ketika ketika pengajian maulid nabi oleh LDK jurusan saya tersindir oleh ustadz mereka. Ketua LDK memang santri Gading, dan sehingga ada maulid nabi. "Di Indonesia ini banyak Sirah nabi yang tersebar dalam bentuk syair, ditingkatkan lah membaca surah nabi dalam bentuk prosa" ucap ustadz itu pasca kami sholawatan menggunakan rebana.
Selama ini, stereotip itu tidak sepenuhnya benar. Stereotip Wahhabi pun tidak 100% dapat diterima, meski dalam buku "KAMMI Beyond Politics" karya Dharma Setyawan menjelaskan kebanyakan kader KAMMI masih ekstrem pada fundamentalisme literer. Selain Muhammad bin Abdul Wahhab, tokoh fundamentalisme literer yakni Muhammad Ibnu Ali Assanusi, Ikhwanul Muslimin, dan Jamaat Islami. Tetapi sekali lagi, tidak semua menurut penulis mengikuti fundamentalis literer. Itulah mengapa stereotip itu terbangun, meski tidak semua mengikuti ajaran Wahhabism.
Sebagaimana PMII, KAMMI pun memiliki ketegangan internl berkat munculnya KAMMI kultural yang lebih mengedepankan aspek kultur dan intelektualitas. Dari gerakan kultural ini, ada yang suka menggandrungi novelis jaman era 1950--1960, Pramudya Ananta Toer. Pun, juga merujuk buku-buku kiri Islam ala Ali Syariati, yang (bahkan) intelektual Syiah.
KAMMI kultural sangat menarik, dari gerakan ini (saya rasa) bisa menemukan titik temu antara KAMMI dan OKP lain. OKP Islam pada khususnya dan OKP nasionalis, dan OKP agama lain. Cita-cita persatuan Islam pun dapat terwujud jika kita salih berlapang dada menerima satu sama lain.
Semua OKP memiliki flatform perlawanan yang sama, tetapi sense mereka berbeda. Sehingga, politiknya berbeda. Berhenti lah jadi sok elit, mari bangun kultur kebersamaan.