Kaderisasi Kultural PMII; Kelebihan dan Kekurangannya

Kaderisasi Kultural PMII, ancapkali digunakan sebagai ujung tombak kaderisasi

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sudah jelas corak geraknya. Sejarah sudah mengatakan bahwa PMII lahir dari gagasan Mahasiswa NU yang awalnya tergabung dalam IPNU. Hingga saat ini coraknya tidak pernah pudar.

PMII banyak melakukan pendekatan kultural untuk merekrut dan mengkader. Pendekatan ini termasuk kegiatan khas ala Nahdliyyin yang masif digalakkan oleh komisariat dan rayon. Tahlilan dan yasinan tiap Jumat menarik sekaligus menjadikan anggota loyal terhadap PMII.

Selain pendekatan kultural ala Nahdliyyin, pendekatan ala warung kopi juga digalakkan dari senior ke kadernya. Tak khayal jika kader pria PMII sangat doyan kopi dan lintingan kretek. Meski demikian, ada saja yang tetep kekeuh dan alergi produk tembakau ini.

Menjadi PMII, sudah lantas menjadi Nahdliyyin kultural, meski dulunya dari keluarga Muhammadiyah sekalipun. Tidak dipungkiri, PMII ikut andil dalam NU-isasi anggotanya yang Muhammadiyah,  NW, Persis, bahkan yang gak jelas sekalipun. Walaupun secara kelembagaan, PMII independen terhadap NU. Silahkan menyangkal bagi yang tidak setuju!

Faktanya, tidak semua anggota PMII memiliki background NU atau pesantren yang kuat. Makanya, perlulah kiranya PMII memperkuat ilmu keislaman, menggalakkan ngaji kitab, yang barangkali terucap "wes tau" bagi alumni santri.

Disini lah peran ideologisasi.

Ideologi merupakan kesatuan pola pikir yang menggerakkan individu untuk melakukan sesuatu. Sering dikatakan bahwa ideologi PMII adalah Aswaja. Boleh saja dibilang begitu, pun sebenarnya kurang tepat. Karena PMII tidak menyebutkan ideologi secara gamblang, yang jelas bahwa PMII berasaskan pancasila (AD/ART). Aswaja ditegaskan sebagai manhajul fikr wal harokah. Dan lagi-lagi jika diterjemahkan, akan mirip dengan makna ideologi itu sendiri.

Memahami Aswaja menjadikan kader kuat dalam ber-PMII. Memahami Aswaja, akan menjadi muslim corak Indonesia.

Ujung tombak kaderisasi, rayon dan komisariat, sudah barang tentu adalah gerbang ideologisasi dimulai. Atau internalisasi nilai lebih tepatnya. Sayangnya ideologi dan nilai yang diinternalisasikan jarang diulas kembali atau dikuatkan dengan referensi.

Beberapa rayon dan komisariat sudah melakukan follow up dengan bentuk diskusi, namun saya rasa, belum cukup untuk internalisasi. Ayok lah, cek ketuntasan pemahaman materi mapaba kepada anggota PMII yang baru. Silahkan diadu.

Bahkan ada pula sekelas pengurus cabang pun (luar Malang) tidak hafal tujuan PMII. Seharusnya materi itu kan sudah selesai dan hafal pasca Mapaba. Ironi.

Untuk memperkuat ideologisasi, sangat perlu suplemen bacaan untuk dicerna anggota dan kader. Diakui, sebagian anggota dan kader PMII memiliki hobi membaca yang tersebar dari buku sastra, budaya hingga politik kanan-kiri.  Sudah minim pembaca, ditambah bacaan yang tidak jelas, seperti mozaik yang terserak dan entah menguatkan ideologi atau tidak.

Saya tekankan lagi bahwa pendekatan kultural yang selama ini dilakukan PMII sangat efektif untuk meloyalkan anggota. Tapi disisi lain, kelemahannya, bila ada masalah internal individu yang sakit hati, saling tersinggung, akan sangat mudah berpaling dan kontra produktif.

Lagi-lagi, bacaan akan semakin menguatkan ideologi itu sendiri. Bacaan yang mana? Bacaan yang ada benang merah antara ideologi yang ditawarkan dengan bacaan kader. Hanya saja, perlu spesifikasi bacaan yang (harus) dibaca secara seragam. Selain ada standar pencapaian kompetensi dasar, teknik ini juga dapat di-asessmen pencapaiannya.

Sudah layaknya kaderisasi kultural dibarengi dengan kaderisasi intelektual. Dengan demikian lengkap identitas PMII dari segi intelektual dan kultural.

Setelah baca artikel di atas, lanjutkan dengan tahap ideologisasi PMII.
Baca juga PMII masih bertengger di BEM UM

Disqus Comments